INDONESIA BELUM JADI
INDONESIA BELUM JADI.
(Saat ini yang ada baru rakyat Indonesia, Pemerintahnya belum).
Oleh; Simbah Cak-Nun
1, SOAL PEMERINTAH :
Lir-ilir lir-ilir, tandure wong sumilir,
tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar,
cah angon cah angon, penekna blimbing kuwi,
lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodotira,
dodot-ira dodot-ira kumitir bedhah ing pinggir,
dondomana jlumatana, kanggo seba mengko sore,
mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane,
ya suraka surak hore.
Tembang gubahan Sunan Ampel berisi pengenalan agama Islam itu dibawakan secara kolaboratif nan apik oleh grup musik Kyai Kanjeng dan Laskar Shalawat mahasiswa UNNES, di halaman rektorat Unnes belum lama ini. (Selasa, 7/6/2011).
Saking enaknya syair Jawa itu, ratusan hadirin tak beranjak dari tempat duduk hingga 2 jam lamanya. Itu juga karena lewat Orasi Budaya bertajuk “Mewujudkan Nilai-Nilai Konservasi Sebagai Pilar Pendidikan Berkarakter”, Emha Ainun Najib mampu menyihir hadirin dengan ucapan maupun lantunan syair diiringi grup musiknya. Terlebih semua berisi sholawat dan khas gambang syafaat, musik besutan Cak Nun. Suasana terasa sejuk dan syahdu. Budayawan yang di masa Soeharto sering dilarang dan dimusuhi penguasa ini berorasi, Indonesia ibarat yang belum benar-benar jadi.
“Sukarno baru saja masang kompor, sudah diganti. Gus Dur baru juga nyumet (menyalakan –Red) kompor, juga tiba-tiba dihentikan. Kapan dadine sega Indonesia?” tanyanya lantang. Saat ini, lanjut suami Novia Kolopaking ini, yang ada baru rakyat Indonesia. Pemerintah belum.
“Kita belum pernah punya pemerintah yang sukses. Tapi rakyat Indonesia sungguh telah sukses sebagai rakyat. Mereka memiliki ketahanan dan kesabaran luar biasa. Setiap hari dilanda banjir, tetap saja bahagia. Begitu disyut kamera televisi, bukannya menampakkan kesedihan, mereka malah senyam-senyum sambil melambaikan tangan dada-dada,” seloroh penulis buku Slilit sang Kiai dan Lautan Jilbab ini.
Disampaikan Cak Nun, Pemimpin yang baik tak lagi memiliki dirinya. Seluruh waktu dan pikirannya untuk rakyat atau orang-orang yang dia pimpin. Bahkan sampai tidak sempat mengurus dirinya.
“Pemimpin yang baik tentu bukan yang sibuk dengan dirinya sendiri. Apalagi mengurus SMS atau kabar miring tentang dirinya yang tidak jelas," sindir Emha.
Bangunlah Surga di Dunia
Penyair yang tak pernah mau terjun politik praktis ini juga menasehati, orang harus membangun surga di dunia dan surga di akhirat. Sebelum mendapat surganya Gusti Allah, kata dia, makhluk harus berikhitiar membangun surganya sendiri di bumi. “Jika ingin mendapatkan surga di akhirat, ya bangun dulu surga di diunia.
Membangun taman di sekitar tugu kekhalifahan, itulah contoh fisik membangun surga dunia,” kata Emha seraya menunjuk Tugu Sutera Unnes yang berjarak dua ratusan meter di depannya. Kepada segenap civitas akademika, suami Novia Kolopaking itu menyebut kelebihan universitas hasil metamorfosis IKIP semacam Unnes. “Cah IKIP itu lebih andhap asor (sopan; rendah hati). Maka setelah berubah menjadi universitas, ia memiliki infrastruktur yang tidak dipunya oleh universitas lain. Yakni andhap asor dan tidak sombong. Bersyukurlah orang yang tidak sombong, karena kesombongan sesungguhnya menutup pori-pori rohani,” katanya.
Pria asal Menturo, Sumobito, Jombang, Jatim ini tampil dengan pakaian khasnya; baju dan celana hitam. Di depan ratusan orang, termasuk Rektor Unnes Prof Dr Sudijono Sastroatmodjo MSi dan para mahasiswa, dia juga menyinggung karut-marut pendidikan di negeri ini."Yang harus diutamakan dalam mendidik adalah menyayangi dan mengasihi. Seperti orang tua pada anak-anaknya, guru, dosen, bahkan rektor juga harus sayang pada murid atau mahasiswanya. Jika tidak ada rasa sayang, pendidikan pasti gagal," ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Dia menyindir perguruan tinggi saat ini yang terlalu terkotak-kotak di fakultas-fakultas. Padahal menurutnya pendidikan di perguruan tinggi harus menengok kesatuan sebagai universitas.Orasi budaya itu merupakan puncak acara Semarak Bulan Pendidikan yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes. Tak sia-sialah Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Hardjono MPd mengusungnya sebagai bagian dari rangkaian panjang acara fakultas ke level universitas."Ojo ucap, bodo yo ben. Golek ilmu kudu telaten." Demikian salah satu bait lagu yang dinyanyikan dia di penghujung acara.
2. SOAL KE-AGAMAAN ( CAK NUN DAN KIYAI KANJENG)
WAWANCARA CAK NUN SEPUTAR ACARA KIDUNG DAMAI 13 JULI 2010 DI GEREJA ISA ALMASIH SEMARANG. Pertanyaan diajukan oleh Mas Ronny dari Gereja Isa Al Masih Semarang.
1. Apa makna musik menurut Cak Nun? Adakah korelasi antara musik dan perdamaian?
JAWAB:
Diantara ummat manusia terjadi perdamaian atau peperangan, letak masalahnya bukan pada perang atau perdamaian, sebab perang dan perdamaian hanya alat dan produk atau output dari perilaku manusianya. Pisau bisa menjadi alat perdamaian, firman Tuhan bisa menjadi alat peperangan. Semua di tangan manusia, karena Tuhan sudah memandatkan alam dan kehidupan ini kepada manusia untuk dijadikan apapun. Batas tepiannya adalah kemerdekaan kuasa Tuhan sendiri: apakah ia mengizinkan, membiarkan, mungkin juga memerintahkan, atau bahkan menyesatkan karena alasan tertentu yang bersumber dari kelakuan manusia sendiri. Tuhan kasih pohon, manusia bikin meja kursi. Tuhan kasih logam, manusia bebas mengolah logam itu menjadi peralatan untuk meningkatkan mutu kehidupan atau menjadikannya alat pembunuhan. Demikian juga semua unsur yang lain dari alam ciptaanNya, terserah manusia akan menggunakannya untuk menyejahterakan sesamanya ataukah untuk membunuh sesamanya.Dan bagi para pelaku perang atau perdamaian, di tengah perjalanan silahkan berhadapan dengan sesamanya, namun di ujung perjalanan silahkan mempertanggungjawabkan di hadapan Tuhan yang memiliki saham mutlak atas segala sesuatu.
2. Apa yang ingin Cak Nun sampaikan dalam setiap kesempatan pentas melalui musik dan nyanyian bersama Kiai Kanjeng?
JAWAB:
Aduh saya menghindar untuk ingin menyampaikan sesuatu, setelah pengalaman sosial, kemasyarakatan dan kenegaraan yang saya alami berpuluh tahun. Artinya, sesudah ribuan perjumpaan itu saya menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada ucapan saya yang benar-benar berguna bagi siapapun, sejauh saya sendiri menakarnya dari prinsip saya sendiri.Maka yang saya lakukan pada ribuan komunikasi sosial bersama KiaiKanjeng dengan masyarakat di dalam dan luar negeri, bukanlah ingin mengatakan apa. Mungkin begini yang terjadi: saya, juga musik KiaiKanjeng, selalu berjaga untuk meletakkan diri tidak pada ingin mengekspressikan apa, melainkan harus mengekspressikan apa untuk kemashlahatan manusia berdasarkan siapa audiens yang kami hadapi.
3. Dalam setiap kesempatan, Cak Nun seringkali menekankan pentingnya menjaga perbedaan agar menjadi sebuah harmoni yang indah, lantas bagaimana hal itu dapat diwujudkan?
JAWAB:
Sebenarnya kalau ada masalah disharmoni antar agama di Indonesia, itu 90% tidak orisinal. Kita punya sejarah panjang di mana masyarakat kita memiliki tata kelola sendiri di dalam menangani toleransi, tidak hanya antar agama, antar apapun saja sebenarnya. Antar perbedaan dalam konteks dan bidang apapun. Konflik-konflik antar agama yang terjadi di Indonesia beberapa puluh tahun terakhir hanyalah satu out put dari penjajahan global yang bermaksud merampok kekayaan alam Indonesia. Perampokan itu memakai formula yang berbeda-beda, misalny di Irak dan di Indonesia. Bahkan Saudi Arabia, Afghanistan, dan sebentar lagi mungkin Iran ditimpa cara perampokannya sendiri-sendiri.
4. Menurut Cak Nun, bagaimana konsep relasi antar umat beragama yang cocok di Indonesia agar perdamaian dapat terwujud?
JAWAB:
Cukup belajar kepada kearifan-kearifan budaya local, misalnya di Maluku dan Jawa. Juga kita bias belajar kepada maksud-maksud baik pendiri bangsa dan NKRI dalam konteks itu, meskipun di dalam ranah filosofi maupun konstitusi, Indonesia sedang menanggung kesalahan-kesalahan besar yang mendasar. Dan sampai hari ini hal itu tidak menjadi kesadaran para pemimpinnya, kaum intelektual, apalagi rakyat.
5. Bagaimana seharusnya peran pemerintah dalam mendorong kerukunan umat beragama? Apakah upaya2 formal seperti pembentukan FKUB itu efektif dan relevan?
JAWAB:
Pemerintah tidak pernah berpikir tentang apa yang seharusnya, dalam hal apapun saja, kecuali yang berkaitan dengan keuntungan pribadi bagi para pejabatnya. Jadi, mohon saya jangan diminta untuk menegakkan benang basah.
6. Bagaimana pendapat Cak Nun tentang acara Kidung Damai di Gereja Isa Al Masih pada tanggal 13 Juli yang lalu?
JAWAB:
Acara Kidung Damai 13 Juli itu bagi saya dan KiaiKanjeng serta seluruh Jamaah Maiyah merupakan pekerjaan keindahan yang memang selalu kami nikmati di tengah perhubungan dengan sesame manusia. Saya tidak ingin merukun-rukunkan siapapun karena orang yang datang ke acara saya dan yang bersentuhan di dalam skala nasional maupun internasional dengan saya—sepenuhnya saya percaya mereka adalah manusia. Dan manusia adalah makhluk yang selalu menderita jika berada di dalam permusuhan dan peperangan.
7. Apa yang dapat Cak Nun baca dari antusiasme penonton pada acara Kidung Damai?
JAWAB:
Sebagaimana jawaban saya terhadap pertanyaan no. 6, saya tidak punya tanggung jawab apa-apa terhadap dunia secara keseluruhan—sebab saya hanya seseorang di antara berjuta-juta orang lainnya, dan tak lebih dari itu. Apa yang terjadi di Gereja Isa Al-Masih itu adalah anugerah Tuhan terhadap jaminan saya bahwa ke mana pun saya pergi saya tidak akan bersentuhan dengan siapa pun yang membawa kebencian dan permusuhan. Dengan bahasa jelasnya, antusiasme umat manusia yang hadir pada malam itu adalah bukti dari Tuhan bahwa jaminan saya itu terkabul, di mana saya dipersaudarakan dengan sangat banyak manusia yang sungguh-sungguh manusia.
8. Menurut Cak Nun, apakah acara-acara semacam ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pola pikir umat beragama, sehingga tercipta semangat mendorong dan memelihara upaya perdamaian?
JAWAB:
Saya tidak pernah tergantung atau mengikatkan diri saya pada kenyataan apakah yang saya lakukan punya pengaruh atau tidak kepada siapa pun saja. Kebaikan dan kemuliaan, kemesraan dan perdamaian—adalah kebaikan dan kemuliaan, serta kemesraan dan perdamaian. Mereka otonom, berdiri sendiri: kebaikan tidak menjadi keburukan hanya karena ia tidak berpengaruh. Saya, KiaiKanjeng, dan Jamaah Maiyah sangat menikmati kemandirian dan kemerdekaan itu, di tengah keramaian maupun di dalam kesunyian.
9. Apa harapan Cak Nun terhadap Gereja Isa Almasih Pringgading, khususnya dalam hubungan lintas agama?
JAWAB:
Sahabat-sahabat saya sebangsa dan saudara-saudara saya sesama manusia InsyaAllah tidak pernah terlena untuk tidak tahu bahwa pekerjaan utama manusia adalah mempertahankan kemanusiaannya, bahwa pekerjaan utama institusi atau agama atau apapun yang menghimpun manusia adalah saling berentang tangan, tolong-menolong, mempertahankan kemanusiaan manusianya.
10. Apa kesan khusus Cak Nun terhadap acara Kidung Damai yg sdh dua kali diadakan ini dan apa pesan untuk umat beragama di semarang? (Secara khusus untuk umat di GIA Pringgading)
JAWAB:
Anda semua tidak hanya punya potensi orisinal untuk menjadi makhluk sebagaimana Tuhan memaksudkan penciptaan-Nya. Anda semua adalah hamba-hamba yang mendapat perhatian khusus dari Sang Pencipta, yang ditarik masuk ke dalam pihak-Nya, serta menjadi pasukan rahasia, pejuang kemesraan yang tidak kentara, pekerja perdamaian yang dibekali senjata-senjata cinta: karena Tuhan InsyaAllah sedang sangat serius menjalankan rencana-rencana rahasia-Nya bagi bangsa Indonesia yang Ia khususkan dan Ia cintai. Yogyakarta, 6 Agustus 2010. (Red/Helmi)
3. SOAL NASIONALISME DAN BURUNG-BURUNG
Cak Nun juga menyampaikan kepada khalayak umum tentang kondisi negara dan fenomena sosial yang akhir-akhir ini terjadi. Cak Nun menceritakan hakekat burung Garuda sebagai lambang negara Indonesia. Perjalanan hidup manusia hendaknya meniru burung Garuda yang tak lain adalah Rajawali. Burung Rajawali terkenal sebagai raja para burung. Tubuhnya besar, cakarnya tajam mencengkeram, paruhnya yang runcing mampu mengoyak daging mangsanya, matanya sangat awas sehingga bisa mengintai ikan di dalam air dengan jelas. Rajawali muda adalah burung yang buas lagi beringas, jagoan tiada tandingan.
Menginjak usia 40 tahun, Rajawali akan mencari batu yang paling keras. kemudian dia mulai mematuki batu tersebut dengan keras hingga paruh runcingnya terlepas. Begitu juga yang ia lakukan pada cakar-cakar kakinya. Selanjutnya ia akan terbang tinggi di bukit/gunung. Ia memilih untuk berteman dengan kesendirian. Ia menguji dirinya sendiri dengan melepaskan apa yang selama ini menjadi senjata utama bertahan hidup, simbol eksistensi dan kebanggaan diri. Jika ia tidak mampu melewati hidup tanpa paruh dan cakar, maka matilah ia. Tapi jika ia bisa bertahan dalam kesengsaraan, sambil menunggu tumbuhnya paruh dan cakarnya kembali yang akan tidak seruncing sebelumnya, maka muncullah ia sebagai Garuda.
Cak Nun mengibaratkan Yogyakarta sebagai Garuda, karena rela melepas kemerdekaan dirinya untuk menjadi bagian dari NKRI. Sayangnya, penguasa republik ini tidak tahu berterima-kasih. Sampai kini status keistimewaan Yogyakarta mengambang tanpa kejelasan.
0 komentar